Powered By Blogger

with anak-anak 86

with anak-anak 86

Jumat, 18 Desember 2009

AIR MATA DOSAKU

“Eh ini gimana sih?” kataku membentak. Udah sarapan telat kerjaan nggak becus, dasar!”

“Maaf, Non,” jawab Mbok Yem, pagi ini saya kurang enak badan.”

“Lalu apa urusannya sama ak, hah? Kamu tuh cuma alasan, pakai acara kurang enak segala. Mana yang kurang enak?” ketusku, lalu pergi meninggalkan Mbok Yem sendirian.

Kulihat dari matanya memang dia agak sedih, tapi aku tak peduli. Mbok Yem adalah pembantuku dan baru dirumahku. Sejak kedatangannya aku sudah tak menyukainya.

Disna, kamu ini apa-apaan? Kamu jangan kurang ajar sama Mbok yem,”bentak ibu setelah aku mendorong tubuh Mbok Yem hingga jatuh.

“Seharusnya Ibu berterima kasih kepada Disna. Lihat ini vas bunga hadiah Ayah pecah,” kataku.

Ibu melihat vas pecah itu lalu menjawab dengan nada keras. “Tapi ini kan hanya vas, bisa beli lagi. Bagaimana kalau batin? Mbok Yem manusia, kamu sadari itu, kamu memang…..”

Belum sempat Ibu melanjutkan kata-katanya, Mbok Yem menyela,”Sudahlah, Bu, saya yang salah. Non Disna betul, vas itu memang sangat berharga. Saya akan menggantinya dengan tidak digaji sampai cukup dengan harga vas itu.”

“Bagus, kamu sadari. Dia sendiri yang bilang, bukan Disna, Bu.” kataku lalu pergi dari hadapan Ibu dan Mbok Yem. Sore harinya di ruang tenggah aku menghampiri Ibu yang sedang membaca Koran .

“Bu, Disna mau bicara,” kataku pelan, “Kenapa Ibu selalu membela Mbok Yem jika Disna lagi memarahinya? Disna memarahi Mbok Yem agar dia sadar posisi di rumah ini.”

Ibu berdiri dan menjawab dengan lantan, “Apa-apaan kamu Disna? Kamu tidak boleh berkata seperti itu. Bagaimanpun dia itu manusia, dia sebenarnya…..”

“Sebenarnya apa, Bu?” potongku.

“Sudahlah, Ibu tidak mau membicarakan hal ini lagi. Ibu hanya ingin kamu bersikap baik sama Mbok Yem, titik!” jawab ibu lalu pergi dari hadapanku.

Ada apa sebenarnya antara Ibun dan Mbok Yem. Mungkinkah dia... Tak sempat aku melanjutkan lamunanku, aku dikejutkan oleh suara mobil dari depan.

“Pasti itu Ayah,” pikirku.

“Sudahlah, vas itu kan Ayah bisa beli lagi,” jawab Ayah bijak setelah aku menceritakan perihal vas itu.

“Tapi, yah, …” kataku.

“Sudah, Ayah mau ganti baju dulu,” lanjut Ayah lalu melangkah ke kamar.

***

Malam hari aku merenung tentang perilaku Mbok Yem padaku sampai akhirnya aku berada di bawah alam sadar. Aku terperanjat.

“Siapa?” tanyaku.

“Saya Non,” jawab Mbok Yem.

“Klek.” suara pintu terbuka.

“Maaf Non, saya cuma mau mengantar susu ini,” tawar Mbok Yem.

“Kamu tahu nggak? Aku tadi sedang tidur, malah dibangunin,” sambutku dan “pyaaarrr” suara gelas berisi susu pecah.

‘Bersihkan! Eh…..malah nangis. Biar dikasihani lalu Ayah dan Ibu memarahiku. Gitu!’ bentakku lagi. “Cepat ambil pecahannya! Malah bengong. Ingin dihajar, iya?”

“Ampun, Non, saya tidak bermaksud seperti yang Non katakana tadi,” rintih Mbok Yem.

“Alasan.’ Jawabku lalu sambil berlalu.

Pagi hari….

“Bu, ada Koran lama nggak? Disna disuruh buat keliping,” tanyaku habis sarapan.

“Di gudang,” jawab Ibu singkat sambil membereskan piring. Aku menuju gudang.

“Oh, itu dia,” gumamku.

“Seorang istri membunuh suami. Wah sadis sekali,” pikirku. Aku pun membaca dari awal hingga akhir. Cahyani Yemtini, nama pembunuh itu. aku perhatikan wajah pembunuh itu walaupun hanya terlihat dari sampingdalam situasi di pengadilan. Ini kan ..

Aku berlari ke ruang tengah. Kutemukan ayah, Ibu, dan Mbok Yem.

“Mbok Yem, siapa nama panjangmu?” tanyaku tak sadar.

“Cahyani Yemtini,” jawab mbok yem penuh tanda tanya.

Darahku serasa mendidih, udara pun menjadi panas.

“Dasar pembunuh! Pergi dari rumah ini, pergi!” kataku tanpa ba bi bu lagi lalu menyeret tubuh Mbok Yem.

“Ampun, Non. Saya tidak tahu apa-apa sungguh,” rintih mbok Yem.

“Disna kamu ini apa-apaan? Lepaskan Mbok Yem,” perintah Ibu dengan wajah marah.

“Baik Disna lepaskan. Tapi lihat Koran ini. Dia membunuh suaminya sendiri, Bu. Lihat yah, Disna tidak bohong. Ini buktinya,”

“Benar kan, Bu? Mbok Yem pembunuh. Dia pembunua,” lanjutku.

Ibu menatap tajam ke arahku yang menggenggam tangan Mbok Yem siap menyeret.

“Hentikan semua ini Disna! kamu memang anak kurang ajar, durhaka, kamu tahu siapa yang kamu perlakukan seperti ini? Dia itu …’ jawab Ibu marah.

“Siapa?” tanyaku lantang.

“Sudahlah, Bu …” Ayah menengahi.

“Biar dia tahu sekalian siapa wanita yang diperlakukan tak layak ini,’ jawab Ibu memeluk Mbok Yem.

“Siapa, yah? Katakana!” tanyaku berharap.

“Ibumu, Ibu kandungmu,” sela ibu dengan air mata berlinang.

Seketika aku terdiam, terkejut, hatiku membeku.

“Aku menoleh, ibuku?” kataku lirih.

“Tidak, Ibu bohong Non,’ kata Mbok Yem menjawab pertanyaanku.

“Sudahlah Mbok, jangan ditutup-tutupi lagi. Disna sudah besa, sudah selayakya dia mengetahui siapa Ibu kandungnya. Biar Disna tahu wanita yang selalu dicacinya adalah ibu kandungnya,” sela Ibu.

“Tidak semua ini bohong ….’

***

Sebulan telah berlalu meninggalkan cerita pahit. Sebulan pulalah Mbok Yem pergi dai rumah ini. Ayah dan Ibu sedih. Aku? Aku tidak, karena bagiku Ibuku adalah Ibuku yang sekarang bukan Mbok Yem atau siapapun. Dalam sebulan inilah Ayah selalu menasehatiku agar aku bisa menerima kenyataan ini, menerima bahwa Mbok Yem adalah Ibu kandungku.

“Bu Cahya, Ibumu sakit, Nak, kanker darah.” kata Ibu memberitahuku yang sedang duduk sambil mambaca novel.

Bu Cahya adalah Mbok Yem, panggilan akrab di kampungnya.

“Biar saja dia mati sekalian. Disna tidak peduli kalau pun dia ibuku, mengapa dia membunuh suaminya sendiri yang tak lain adalah ayahku sendiri?” jawabku.

Pertanyaan itulah yang selalu dilontarkan. Ibu hanya diam dan akhirnya air mata pun jatuh di pipinya.

“Bagaimanpun juga dia Ibu kandungmu, dia yang melirkanmu dan membayar uang sekolah mu dengan mengirim wesel kepada Ibu,” jawab Ibu.

Aku tak manjawab.

Seminggu kemudian, Bu Cahya pulang dari rumah sakit.

‘Ayo Disna ikut tengok Bu Cahya,” ajak Ayah lembut.

“Tidak, tidak akan,” jawabku tegas.

Sudahlah, Yah, biar Disna tenanga dulu,” Ibu menengahi.

“Baiklah, tapi kamu harus jnji besok kamu harus jengguk Ibumu.” Jawab ayah lalu pergi menuju kampung Bu Cahya.

Esok hari.

“Disna, Bu Cahya keadaannya memburuk. Dia muntah darah banyak sekali tadi pagi. Bu Cahya ingin bertemu denganmu.” Ayah memberi tahu.

“Tidak, Ayah. Disna nggak mau ke sana.” Jawabku.

“Kamu harus ke sana, ayo, perintah Ayah sambil menggenggam lenganku.

Aku pun terpaksa ikut.

“Ayo cepat, Bu Cahya menunggumu,” kata Ayah.

Aku turun. Ayah masuk ke kamar berdinding bambu itu. Aku masuk mengikutinya dan melihat Ibu dan Bu Cahya berbicara.

“Mendekatlah, Nak!” ajak Bu Cahya.

“Tidak,” jawabku.

“Disna, kamu tidak boleh seperti itu, cepat mendekatlah.” bentak Ayah.

“Nak, Ibu ingin memelukmu,’ pinta Bu Cahya.

Hatiku tetap beku, melihat wanita di depanku yang tak lain adalah Ibu kandungku sendiri yang sedang sekarat itu, tak sedikitpun aku tersentuh. Tak merasa iba. Karena bagiku dia adalah pembunuh.

“Tidak, kamu pembunuh,” jawabku.

“Ibu bukan pembunuh. Terserahlah pendapatmu, tapi dengarkanlah cerita Ibu. Dulu ketika masih kecil, ayahu terbelit hutang. Pada malam ulang tahun pertamamu, seorang datang ke box tempat kamu tidur dan mengambilmu. Ibu takut, lalu Ibu mengambil pisau untuk mnyelamatkanmu, tapi Ayahmu menghalangi, takut kalau orang itu terbunuh atau malah melukaimu. Tapi malah Ayahmu yang terbunuh., dan kamu diletakkan begitu saja oleh oang itu. lalu orang itu melaporkan yang terjadi dengan memutar balikkan faktakepada polisi..posisi Ibu sulit, tidak ada saklsi, lalu Ibu dipenjara dan kamu Ibu titipkan kepada Ibu fatimah, Ibumu yang sekarang.” cerita Bu Cahya.

“Bohong.” tanggapku.

“Benar itu semua, Nak,” jawab Bu Cahya.

“Anakku, Disna, sebelum semua ini berakhir Ibu ingin meminta sesuatau padamu,” pinta Bu Cahya. “Ibu ingin kau memanggilku Ibu.”

“Tidak, jangan harap aku memanggilmu Ibu.”jawabku marah.

Aku pergi dari kamar itu dan berlari keluar. Belum sempat aku ke teras.

“Nak, ampunilah Ibu, Ibu tahu Ibu salah,” rintih Bu Cahya. Tubuhnya rebah ke lantai. Aku melihat matanya menahan sakit.

“Nak, kemarilah,” lanjutnya sambil berusaha mendekatiku.

Bu Cahya memegang kakiku. “Nak, Ibu mohon, ampuni Ibu. Ibu sangat menyayangimu.” Pintanya berharap.

“Kabulkanlah permintaan terakhirnya, Disna,” saran Ayah.

“Panggil sekali, dia Ibu!” lanjut Ayah. Aku tak menjawab.

“Disna, tolong Ibu kamu,” perintah Ibu marah menyuruhku memangku Bu Cahya. Ibu memegang tanganku dan menarik tangganku hingga aku memandang wajah Bu Cahya dari dekat.

“Nak, ampuni Ibu, panggillah aku Ibu. Sekali saja, Nak!” pintanya lagi.

Suasana henung ….

“Disna, Ibu mohon …..” belim sempat kalimat itu dilanjutkan, mata Bu Cahya tetutup. Ia meninggal di pangkuanku. Belum sempat aku mengabulkan permintaannya yang terakhir, dia telah meninggal. Ibu dan ayah menangis.

Sepertinya hatiku memang telah membatu. Aku tak mengis. Setetes air mataku pun tak keluarsewaktu Bu Cahya dimakamkan. Aku merasa masih menyimpan dendam kepadanya. Entah itu dendam apa yang jelas aku tidak suka kepadanya.

Dalam 8 bulan ini aku tak pernah sekalipun mengunjungi makan Bu Cahya yang tak lain adalah ibu kandungku. Ayah dan Ibu telah lelah menasehatiku. Kulihat mereka begitu kecawa padaku karena sikapku kepada Bu Cahya yang lalu. Merasa gagal mendidikku.

Tapi bulan ke-9 setelah Bu Cahya meninggal tiba-tiba hati ku serasa mencair setelah lama membeku. Aku teringat Bu Cahya, bahkan hampir tiap hari aku memimpikannya. Anehnya lagi aku juga memimpikan sesosok orang yang menjadi ayahku padahal aku belum pernah melihatnya. Kuputuskan sore itu juga aku pergi ke makam Bu cahya, di atas batu nisan itu aku menagis meratapi semua, semua salah dan dosaku. Tapi aku sadar menyesal sekarang tak akan merubah semuanya. Bu cahya telah pergi. Maafkan aku Ibu …..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar